Beranda | Artikel
Puasa Yang Tidak Bermakna
Selasa, 2 Mei 2017

Bismillah.

Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Bulughul Maram mencantumkan sebuah hadits di dalam Kitab ash-Shaum dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud, lafal milik Abu Dawud)

Imam ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin (lihat Subul as-Salam, 2/876)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadits ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya (lihat Min-hatul Malik al-Jalil, 4/147)

Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zuur (perkataan dusta) di dalam hadits ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah ghibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dsb. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadits ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna (lihat Taudhih al-Ahkam, 3/482-483)

Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang berpuasa wajib menjaga puasanya dari segala sesuatu yang merusak atau mengurangi pahala puasa. Caranya adalah dengan menghiasi diri dengan akhlak mulia serta menjauhi segala akhlak yang buruk apakah itu berupa ucapan dusta, kebohongan, atau tindakan bodoh. Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwasanya puasa bukan sekedar menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan secara fisik, tetapi ia juga harus disertai dengan ‘berpuasanya’ anggota badan dari segala perkara yang diharamkan dan menghiasi diri dengan akhlak mulia serta sifat-sifat yang terpuji. Dengan cara itulah puasa akan bisa berfungsi secara baik dalam membina jiwa dan menata akhlak (lihat Min-hatul ‘Allam, 5/38-39)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa perkara-perkara semacam ini -berkata dusta, berbohong, dsb- adalah perkara yang membatalkan secara maknawi walaupun secara lahiriah puasanya dihukumi sah/tidak perlu diganti. Bisa jadi pahalanya hilang sama sekali atau minimal berkurang pahalanya. Tercakup di dalamnya adalah semua perbuatan yang diharamkan, melihat yang diharamkan, atau ucapan-ucapan haram. Beliau juga menegaskan bahwa yang dimaksud al-qaul az-zuur mencakup semua perkataan yang diharamkan. Karena kata az-zuur bermakna inhiraf/penyimpangan. Oleh sebab itu para ulama menafsirkan bahwa salah satu bentuk perbuatan ‘menyaksikan az-zuur’ yang tidak dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang salih -sebagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan ayat 72- adalah ‘menghadiri hari raya orang kafir’. Karena hari raya mereka itu adalah penyimpangan dan kebatilan (lihat Tas-hil al-Ilmam, 3/217-218)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga memaparkan, bahwa orang yang berpuasa secara hakiki adalah orang yang perutnya berpuasa dari makanan dan minuman serta segenap anggota badannya juga berpuasa (menahan diri) dari segala bentuk perbuatan dosa. Berpuasa pula lisannya dari perkataan keji dan ucapan yang kotor. Berpuasa pula telinganya dari mendengarkan nyanyian/lagu, musik, seruling, dsb. Berpuasa pula telinganya dari menyimak ghibah dan perkataan orang yang suka mengadu-domba, dan berpuasa pula penglihatannya dari memandang hal-hal yang diharamkan (lihat It-haf Ahlil Iman di Durus Syahri Ramadhan, hal. 34)

Bahaya Mendengarkan Musik dan Nyanyian

Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa diantara ciri orang-orang yang celaka -yaitu orang-orang yang berpaling dan tidak mau memetik pelajaran dari kalam Allah (al-Qur’an)- bahwa mereka itu menyukai permainan seruling, lagu-lagu dengan nada yang mendayu-dayu dan disertai iringan alat-alat musik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada yang membeli perkataan yang sia-sia…” (Luqman : 6). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah, itu adalah nyanyian.” Termasuk di dalam kategori ‘perkataan yang sia-sia’ itu adalah semua perkataan yang membuat manusia berpaling dari ayat-ayat Allah dan meninggalkan jalan-Nya, sebagaimana tafsiran Imam Ibnu Jarir (lihat keterangan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6/330-331)

Imam asy-Syaukani rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘perkataan yang sia-sia’ itu adalah semua perkataan yang membuat manusia lalai dari kebaikan, baik berupa nyanyian, alat-alat musik, cerita-cerita bohong, dan segala ucapan yang mungkar. Beliau juga menyebutkan tafsiran dari Hasan al-Bashri rahimahullah -seorang ulama tabi’in- bahwa yang termasuk perkataan sia-sia itu adalah nyanyian dan alat-alat musik. Diriwayatkan pula darinya bahwa termasuk dalam perkataan sia-sia itu adalah syirik dan kekafiran. Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa pendapat paling utama untuk menafsirkan ungkapan tersebut adalah nyanyian dan ini merupakan pendapat para sahabat dan tabi’in (lihat keterangan Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam tafsirnya Fat-hul Qadir, hal. 1140)

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam al-Adab al-Mufrad dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud dari ayat (yang artinya), “Diantara manusia ada orang-orang yang membeli perkataan yang sia-sia.” (Luqman : 6). Beliau berkata, “Itu adalah nyanyian dan yang sejenis dengannya.” (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad, 3/366)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar akan ada diantara umatku ini orang-orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera (bagi lelaki), khamr, dan alat-alat musik…” (HR. Bukhari). Yang dimaksud ‘menghalalkan’ dalam hadits ini adalah mereka melakukannya seperti orang yang menganggap bahwa hal itu halal, bahkan mereka tidak peduli alias tidak merasa bersalah. Dan telah ada di masa kita sekarang ini orang-orang yang hobi mendengarkan/memainkan alat musik seolah-olah itu adalah sesuatu yang halal (lihat ash-Shiyam fil Islam karya Syaikh Sa’id al-Qahthani hafizhahullah, hal. 243)

Imam Malik rahimahullah imamnya para penduduk Madinah pernah ditanya mengenai nyanyian yang konon katanya ada rukhshah/keringanan untuk didengarkan menurut para penduduk Madinah. Beliau menjawab, “Yang melakukan itu diantara kami hanyalah orang-orang fasik/pelaku dosa besar.” (lihat Ighotsatul Lahfan karya Ibnul Qayyim rahimahullah, 1/411, lihat juga al-Ikhtiyarat al-‘Ilmiyyah li asy-Syaikh al-Albani, hal. 435)

Imam al-Khallal rahimahullah meriwayatkan dari Ibrahim bin al-Mundzir -seorang ulama Madinah, tsiqah/terpercaya dan termasuk jajaran gurunya Imam Bukhari- bahwa beliau ditanya, “Apakah kalian [ulama Madinah] memberikan keringanan/rukhshah untuk mendengar nyanyian?” beliau menjawab, “Kami berlindung kepada Allah! Tidaklah melakukan hal ini diantara kami -penduduk Madinah- kecuali orang-orang fasik.” (lihat al-Ikhtiyarat al-Ilmiyyah, hal. 435)

Imam Abu Bakr ath-Thurthusi rahimahullah mengatakan, “Adapun [Imam] Abu Hanifah, sesungguhnya beliau membenci/mengharamkan nyanyian, dan beliau menganggapnya termasuk perbuatan dosa.” (lihat Ighotsatul Lahfan, 1/412)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Sesungguhnya nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci dan sesuatu yang menyerupai kebatilan dan mengada-ada. Barangsiapa sering-sering mendengarkan/melantunkan nyanyian maka dia adalah orang yang safih/dungu dan tertolak persaksian darinya [di sidang pengadilan, pent].” (lihat Ighotsatul Lahfan, 1/413)

Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya mengenai nyanyian, beliau rahimahullah menjawab, “Nyanyian menyebabkan tumbuhnya kemunafikan di dalam hati. Aku tidak tertarik padanya.” Kemudian beliau mengutip perkataan Imam Malik, “Yang melakukan hal itu diantara kami hanyalah orang-orang fasik.” (lihat al-Ighotsah, 1/418)

Imam Ahmad juga menukil ucapan Sulaiman at-Taimi rahimahullah, “Seandainya kamu memilih rukhshah/keringanan dari semua orang yang berilmu -atau ketergelinciran setiap orang berilmu- niscaya terkumpul pada dirimu semua keburukan.” (lihat al-Ighotsah, 1/418)

Tidak mendengarkan nyanyian adalah salah satu ciri hamba-hamba Allah yang salih. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur/penyimpangan.” (al-Furqan : 72). Muhammad bin al-Hanafiyah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud az-zuur/penyimpangan di sini adalah nyanyian.” Penafsiran serupa juga diriwayatkan oleh Laits bin Sa’ad dari Mujahid rahimahumallah (lihat al-Ighotsah, 1/435)

Sering mendengarkan nyanyian akan menyuburkan sifat kemunafikan di dalam hati. Inilah yang dipahami oleh sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” (lihat al-Ighotsah, 1/444). Demikian pula yang ditegaskan oleh adh-Dhahhak rahimahullah, beliau mengatakan, “Nyanyian akan merusak hati dan membuat murka Rabb [Allah].” (lihat al-Ighotsah, 1/448)

Walhasil, nyanyian dan musik akan merusak hati dan amalan kita. Apakah kita tidak sayang puasa yang kita kerjakan menjadi sia-sia gara-gara sering mendengar lantunan lagu dan musik-musik? Saudaraku yang dirahmati Allah, al-Qur’an berisi petunjuk, obat, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dengan membaca al-Qur’an dan merenungkan ayat-ayatnya keimanan akan bertambah kuat. Dan dengan dzikir kepada Allah hati akan menjadi tenang dan tentram.

Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an. Ramadhan adalah bulan dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafus shalih mengkhatamkan al-Qur’an. Semoga bulan Ramadhan nanti menjadi ladang bagi kita untuk menuai pahala berlipat ganda dan meraih ampunan atas dosa-dosa. Mari kita jauhi segala hal yang bisa merusak puasa kita. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal salih.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/puasa-yang-tidak-bermakna/